A. Asal
muasal teknik time out
Teknik time out yang di gunakan secara
luas adalah sebuah bentuk penanganan perilaku yang didasarkan pada prinsip
hukum operant conditioning. Mereka yang mendukung terapi perilaku mengatakan bahwa semua perilaku
maladaptif maupun adaptif, di pelajari melalui proses operan dan pengondisian.
Hukuman negatif melibatkan menghilangkan stimulus untuk mengurangi probabilitas
bahwa sebuah perilaku akan terjadi lagi. Oleh karena efek positif time out,
teknik ini telah menjadi salah satu bagian penting untuk menangani perilaku
anak di ranah sekolah.
Time out adalah salah satu intervensi
perilaku yang paling sering di gunakan untuk mengurangi berbagai masalah
perilaku pada anak-anak dan menduduki peringkat ketiga di antara keenam
strategi manajemen perilaku yang paling banyak di terima oleh orang tua. Time
out adalah komponen yang paling sering di gunakan pada prosedur pelatihan orang
tua dan sekaligus intervensi dengan daya tarik populer yang luas.
Time out adalah salah satu tipe hukuman
negatif dimana semua bentuk reinforcment positif disingkirkan dari anak setelah
ia menunjukan perilaku maladaptif. Hal ini di lakukan dengan harapan bahwa anak
tersebut tidak akan terus terlibat daman perilaku maladaptif di masa mendatang
karena anak ingin mempertahankan reinforcer positif. Time out di gunakan untuk
mengurangi perilaku yang tidak semestinya (hukuman) dan meningkatkan perilaku
yang baik (reinforcment). Dengan demikian time out adalah sebuah teknik yang
dirancang untuk mendidik anak tentang apa yang harus di lakukan dan apa yang
tidak boleh dilakukan. Time out berfungsi sebagai hukuman untuk perilaku buruk
saat ini dan mencegah perilaku buruk di masa mendatang.
B. Cara
Mengimplementasikan Teknik Time Out
Time out paling sering di gunakan dengan
anak-anak. Sebelum mengimplementasikan time out, konselor profesional
seharusnya mengenal dengan baik tiga tipe yang berbeda. Seclusionary time out
terjadi ketika anak di bawah ke ruang yang berbeda, yang di sebut sebagai ruang
pengasingan. Exclusionary time out terjadi ketika anak itu di singkirkan dari
lingkungan dimana kegiatan terjadi. Anak di bawa ke lokasi lain seperti tangga
atau lorong. Mounseclusionary time out terjadi ketika seorang anak tetap dalam
lingkungan tetapi tidak di izinkan untuk ikut dalam kegiatanyang memberi
reinforcment.
Ketika mengimplementasikan time out
orang tua perlu memastikan untuk membertahu anak, secara jelas dan ringkas,
mengapa ia di bawa ke time out. Time out seharusnya di gunakan setelah pengarahan
ulang dan peringatan telah di berikan kepada anak. Tergantung tipe perilaku
maladaptif yang di tunjukan, orang dewasa memilih tipe time out yang akan di
gunakan. Banyak waktu anak dalam time out beragam, tetapi biasanya sekitat 5
menit. Dengan anak-anak yang lebih muda waktu yang lebih pendek mungkin di
butuhkan, dan dengan anak-anak yang lebih tua mungkin di butuhkan waktu lebih
panjang yang berfungsi sebagai pencegah perilaku buruk yang akan datang. Ketika
seorang anak kembali dari time out, orang dewasa seharusnya memastikan untuk
memperlakukan anak dengan hormat dan memberi tahu anak tentang apa yang harus
di lakukannya untuk bergabung kembali dengan kegiatan yang sedang berjalan.
Jika seseorang memilih untuk
mengimplementasikan teknik time out ada baiknya untuk mendapatkan data basal
untuk mendukung penggunaannya. Catatannya seharusnya termasuk deskripsi tentang
perilaku anak sebelum mengimplementasikan time out, kapan perilaku itu terjadi
(pagi, siang, malam) derasi time out, tipe time out yang di gunakan. Dan
deskripsi tentang bagaimana perilaku
anak selama time out. Setelah periode 2 minggu orang dewasa dpat memeriksa
datanya untuk mengevaluasi apakah time out tampak efektif. Biasanya teknik ini
di gunakan dengan anak-anak yang berumur 2 atau 3 tahun atau anak-anak usia
remaja awal. Time out bahkan telah di gunakan secara efektif pada orang dewasa
penyandang disabilitas intelektual.
Ketika anak dalam time out, mengusulkan untuk memerintahkan anak
mengikuti tujuh aturan berikut untuk meningkatkan kepatuhannya : kaki di
lantai, kaki-kai kursi di lantai, tangan di atas pangkuan, pantat di kursi,
mata terbuka dan menatap dinding, sama sekali tidak bersuara, dan duduk tegak dengan
punggung bersandar di kursi.
Langkah-langkah penerapan time-out
dalam seting sekolah maupun rumah
dijelaskan sebagai berikut.
Langkah
pertama,
guru atau orang tua harus paham dengan
detail perilaku bermasalah yang
harus diubah. Misalnya, anak yang suka naik meja ketikapelajaran. Atau anak
yang berteriak-teriak dan berguling-guling di lantai ketika memintasesuatu
kepada orangtuannya.
Langkah
kedua, memaksimalkan
kondisi untukmemunculkan perilaku alternatif, sehingga dapat diberi penguatan
ketika anak melakukan perilaku positif menggantikan perilaku yang tidak
diharapkan. Artinya, orang tua atau guruharus mampu menciptikan situasi yang
memungkinkan anak berperilaku positif, bukan
sebaliknya menciptakan situasi
memancing anak untuk memunculkan perilaku bermasalah.
Langkah selanjutnya,
memilih time-out yang efektif. Hukuman dalam bentuk time-
out dipastikan diberikan sesegera
mungkin setelah anak melakukan perilaku yang tidak diharapkan. Hukuman dalam
bentuk time-out harus konsisten diberikan kepada anak setiapkali anak
tersebut melakukan perilaku bermasalah. Agar menjadi efektif, pemberian time-out
tidak diberikan bersamaan dengan pemberian penguatan. Langkah keempat,
komunikasikan
prosedur time-out kepada anak sebelumnya. Anak harus mendapatkaninformasi
yang jelas dan lengkap tentang program ini agar anak mampu terlibat penuh.Anak
juga harus diinformasikan frase-frase yang digunakan dalam time-out.
Langkahkelima,
penerapan hukuman dilakukan dengan aturan yang jelas. Anak harus
mengetahuiaturan main dari time-out. Sangat baik jika penerapan time-out
disertai dengan pencatantan.
C. Variasi
Teknik Time Out
Erford (1999) mendeskripsikan sebuah
variasi contingent delay time out. Setelah klien di bawah ke tempat time out
dan memahami ketujuh aturan, klien di harapkan untuk mematuhi aturan ini selama
periode time out. Klien di beri tahu bahwa setiap kali ia melanggar salah satu
aturan itu, 1 menit akan di tambahkan pada jumlah waktu yang di habiskannya di
dalam time out (misalnya 5 menit plus menit penalti). Penting bahwa siapa pun
yang mengimplementasikan teknik ini dengan anak harus konsisten tentang
penambahan menit ekstra, kalau tidak anak tidak akan melihat time out sebagai
hukuman.
Variasi “sit and watch” teknik ini di
gunakan dalam ranah kelas. Jika siswa di bawah ke “sit and watch” (duduk dan
lihat) siswa mengambil sebuah jam pasir (yang di isi dengan cukup pasir yang
cukup untuk waktu 3 menit), pindah ke area yang jauh dari teman kelasnya,
duduk, dan memandangi jam pasir. Begitu pasir sudah turun seluruhnya, siswa
tersebut dapat bergabung kembali dengan kegiatan kelas. Guru mungkin menemukan
teknik ini berguna untuk mengembangkan berbagai contingency ketika menggunakan
“ sit and watch “.
D. Kegunaan
Dan Evaluasi teknik time out
Time out telah di gunakan untuk beragam
perilaku termasuk tantrum, menghisap jempol dan agresi. Secara historis, time
out juga telah di gunakandengan sejumlah populasi yang berbeda, termasuk
anak-anak dengan disabilitas intelektual yang memiliki perilaku disruptif,
anak-anak di kelas pendidikan khusus , orang dewasa penyandang disabilitas
intelektual yang memiliki perilaku tidak di inginkan selama makan atau
anak-anak yang cenderung mencederai dirinya dan agresif dengan gangguan
pemusatan perhatian/ disabilitas, anak-anak yang tidak menurut dan anak-anak
yang kasar dan agresif dengan beragam masalah perilaku anak di berbagai ranah
pendidikan.
Time out juga telah diimplementasikan
sebagai elemen yang lebih kecil dari program-program pelatihan orang tua yang
lebih besar. Program-program ini yang sering di sebut sebagai pelatihan manajemen
orangtua, memungkinkan orang tua untuk beralih dari intervensi yang tidak
terlalu intrusif ke intervensi yang lebih restriktif. Banyak faktor yang
berkontribusi ke arah keberhasilan teknik ini terletak pada orang yang
mengimplementasikan prosedur time out. Di lingkungan time out tidak boleh ada
stimulasi visual dan auditorik sehingga anak tidak menerima reinforcment
positif apapun untuk di tempatkan dalam time out.
Ada cukup banyak penelitian empirik yang
mendukung efektivitas time out untuk anak-anak dengan masalah pengendalian
diri. Seorang penelitian menemukan bahwa menggunakan tim out sebagai bagian
dari rencana penanganan bagi siswa-siswa penyandang ganguan emosional
memengaruhi secara positif perilaku dan pekerjaan siswa .
Salah satu masalah utama dalam teknik
time out adalah teknik ini sering disalah gunakan. Time out sering tidak
berhasil untuk anak-anak dengan fungsi rendah yang mengidap gangguan spektrum
autisme yang menurut definisinya tidak keberatan dengan berkurangnya kontak
sosial. Faktor-faktor yang mengurangi kemungkinan bahwa time out tidak akan
efektif termasuk terlalu banyak menggunakannya untuk setiap pelanggaran aturan,
menunda time out tidak melaksanakan yang sesuai prosedur, dan membentak anak.
Penting bagi mereka yang mengimplementasikan time out untuk bersikap realistis
dan ingat bahwa teknik tidak mengatasi semua hal teknik ini paling efektif jika
tidak di gunakan terlalu sering time ou dimaksutkan untuk berfungsi sebagai
pencegah perilaku buruk yang akan datang ketika menggunakan time out penting
untuk mengetahui kemungkinan implikasi legal dan etik. Time out melibatkan team
individualized education plan (IEP) dalam membuat keputusan tentang prosedur
mengurangi perilaku semacam time out, dengan anak-anak di pelayanan pendidikan
khusus memastikan bahwa time out menjalakan fungsi pendidikan yang legitimate
di gunakan secara wajar, dan mencatatnya secara terperinci.
Pertama,
time-out adalah proses bukan tempat. Seringkali orang tua atau guru
memahamiteknik time-out hanya sebatas tempat. Artinya, ketika anak
melakukan perilaku yang tidakdinginkan, anak ditempatkan di tempat khusus.
Permasalahan yang kemudian munculadalah ketika anak melakukan perilaku yang
tidak diinginkan itu di tempat yang tidak biasadia melakukan perilaku tersebut,
misalnya di mal. Di mana tempat time-outnya? Time-outadalah
sebuah proses penghentian perilaku yang tidak diinginkan dengan
caramemposisikan anak berhenti melakukan perilaku tersebut, misalnya duduk di
lantai. Ketikatime-out orang tua harus memutus komunikasi dan interaksi
dengan anak tersebut ataudengan kata lain tidak memberikan perhatian kepada
anak.
Kedua,
time-out sebagai
bentuk menjauhkan anak dari perhatian untuk beberapa
saat. Prinsip ini merupakan bagian
yang paling mendasar dalam time-out. Prinsip inipulayang paling sulit
diterapkan. Seringkali orang tua atau guru yang menerapkan time-outkepada
anak atau siswa mereka tergoda untuk berkomunikasi atau berinteraksi
dengananak. Jika hal itu terjadi maka yang terjadi bukan time-out tetapi
si anak hanya duduk dikursi, dijauhkan dari teman-temannya dan dia mendapat
ceramah dari orang tua atau guruselama duduk di kursi tersebut. Penerapan time-out
yang demikian tidak akan berhasilmengubabh perilaku anak.
Ketiga,
menetapkan
kalimat sederhana dan konsisten sebelum memulai time-out.
Menggunakan frase atau kalimat
sederhana dan konsisten mengandung dua komponendasar. Pertama, kalimat time-out
yang sederhana memungkinkan anak memahami apa yangdia lakukan dan hal itu
salah. Selanjutnya, dengan kalimat sederhana dan konsisten anak mengetahui apa
yang akan terjadi jika melakukan perilaku tersebut. Misalnya, “memukulteman, time-out”.
Kalimat tersebut sederhana dan mudah dipahami. Dalam hal inipunorangtua atau
guru sering tergoda untuk memberikan penjelasan panjang lebar tentangperilaku
anak dan alasan kenapa harus dihukum. Dengan terlibat dalam diskusi seperti
ituakan menunda tim-out. Menunda time-out berarti semakin
mempersulit anak menemukankaitan antara perilakunya dengan time-out.
Konsistensi bahasa akan membuat anak mudahpaham akan perilaku dan hukuman yang
akan diterima. Selain itu, penting juga
diperhatikan bahwa semua orang yang
terlibat dalam mengubah perilaku anak juga harusmenggunakan kalimat yang sama.
Maka penting memilih kalimat yang sederhana dankonsisten dalam penerapan
time-out.
Keempat,
time-out untuk
perilaku yang spesifik. Time-out tidak dapat digeneralisasi
untuk semua perilaku negatif.
Misalnya, anak menangis ketika meminta sesuatu.
Sebelumnya dia sudah pernah
mendapatkan time-out karena suka teriak-teriak. Kemudianorangtua
mengatakan “begitu saja kok nangis. Masuk kamar untuk time-out dan
kembalikalau sudah tidak nagis lagi”. Tidak semua perilaku dapat digenaralisasi
untuk mendapattime-out.
Kelima,melakukan
time-out segera setelah perilaku yang tidak diinginkan muncul.
Prinsip ini sangaat penting. Salah
satu faktor penentu keberhasilan time-out adalah jarakwaktu antara time-out
dengan munculnya perilaku yang tidak diharapkan singkat. Semakinpendek
waktu antara perilaku dan time-out semakin mudah anak memahami
hubunganantara dua hal tersebut. Kesegeraan ini juga akan menjamin keefektipan time-outmengurangi
perilaku yang tidak diinginkan.
Keenam,
jangan terlibat
dalam dialog atau diskusi. Dalam perjalana anak menuju
time-out atau selama proses time-out banyak
anak akan berusaha untuk mendapatkanperhatian orang tua dengan berdiskusi atau
berdebat. Sebelum si anak duduk di kursi ataupojok time-out dia akan
berusaha menjelaskan kepada orang tua atau guru bahwa dia tidaksalah, atau yang
menyebabkan perilaku yang tidak diharapkan itu bukan dia tetapi oranglain. Jika
menghadapai situasi demikian, agar time-out sungguh-sungguh berjalan
makaorang tua atau guru harus dapat menahan diri untuk tidak terlibat dalam
diskusi dansungguh-sungguh tidak memberi perhatian kepada anak. Anak tidak
diberi kesempatanmembela diri, apologi, yang dapat menguatkan perilakunya jika
orang tua atau gurumenanggapi apologi tersebut (Bacon, 1990).
Ketujuh,
jangan
mengatasi perilaku selama berjalan menuju time-out atau selama
proses time-out. Anak-anak
yang diberi time-out akan berusaha untuk mendapatkan
perhatian dengan cara apapun,
termasuk berdiskusi selama menuju time-out atau selamaproses time-out, seperti
yang dijelaksan pada prinsip keenam. Anak-anak yangmendapatkan time-out akan
berusaha menunda time-out dengan berbagai cara: berdebat,menangis,
memukul, meronta, menolak, atau merusak benda-benda yang ada di
sekitarnya.Tidak seorangpun ingin mendaptkan time-out. Jika orang tua
atau guru kemudian memberiperhatian pada perilaku ini maka time-out tertunda.
Situasi demikianlah yang diinginkananak. Anak akan sangat cepat belajar bahwa
apa yanag dia lakukan dapat menunda bahkanmembatalkan time-out. Sekali
dia berhasil menunda atau meniadakan time-out denganperilaku itu maka
untuk seterusnya dia akan melakukananya. Jika memahami time-out tidaksekedar
tempat tetapi proses, maka orang tua atau guru akan terbantuk menjalankan time-out
dengan efektif. Anak tidak perlu diseret atau diangkat menuju time-out.
Fokus time-outtetap pada perilaku yang mau dihapus. Perlu juga
ditanamkan dalam pikiran orangtua atauguru bahwa anak kemudian dicap jelek,
buruk hanya gara-gara mendapatkan time-out.
Kedelapan, sesuaikan
durasi waktu dengan usia anak. Erford (2010) mengatakan
lima menit sudah cukup efektif untuk
time-out. Bagi anak-anak yang lebih muda time-outdapat kurang
dari lima menit, atau lebih dari lima menit bagi anak remaja (Erford, 2010;
Harris, 1985). Alasan utama waktu time-out
adalah berapa lama pikiran anak bekerja, danbagaimana pikiran anak bekerja.
Aturan praktis penetapan waktu time-out adalah satumenit untuk setiap
tahun. Jadi, jika usia anak 5 tahun maka efektif time-out 5 menit.
Tentuprinsip ini tidak berlaku mutlak, khususnya bagi anak-anak berkebutuhan
khusus. Time-outyang terlalu lama juga akan mengakibatkan frustrasi
tidak hanya bagi anak tetapi juga bagiorang tua dan guru. Time-out diberikan
kepada anak sebanyak anak membutuhkan. Selamaperilaku yang tidak diingikan
masih muncul maka sebanyak itupula anak mendapatkantime-out.
Kesembilan, jadikan
time-out sebagai salah satu komponen rencana perilaku yang
komprehensif. Time-out harus
direncanakan mampu berdampak banyak bagi anak. Anakdiharapkan belajar banyak
dari pengalaman time-out. Tentu, time-out fokus pada perilaku,tetapi
pengalaman time-out dengan segala aktivitas di dalamnya, misalnya
terkaitkakonsistensi orang tua dan guru menerapkan time-out,konsekuensi
jika tidak menjalankantime-out, menyadari perilaku yang tidak diharapkan
tersebut merugikan diri sendiri dan orang lain, dan lain sebagainya. Selain
itu, penerapan time-out membutuhkan koordinasikomprehensi, yang melibatkan
banyak pihak. Maka, sebelum menerapkan time-outdibutuhkan koordinasi dan
kolaborasi komprehensif.
Kesepuluh, gunakan time-out secara konsisten. Konsisten adalah
kunci sukses untuksetiap rencana modifikasi perilaku yang sulit untuk
dijalankan. Sekali orang tua atau gurumenerapkan time-out maka time-out
berlaku di setiap waktu dan di setiap tempat setiapkali anak melakukan
perilaku yang tidak diharapkan. Tidak ada waktu dan tempatpengecualian untuk time-out.
Apakah time-out juga tetap dilakukan padahal tidakmemungkinkan, misalnya
orang tua atau guru tidak punya waktu karena harus segeramengerjakan suatu
pekerjaan? Tentu situasi ini dapat terjadi kapanpun. Maka perluperencanaan time-out
yang matang, yang mampu mengantisipasi situasi seperti ini. Jikaterjadi hal
seperti ini tentu time-out dapat dimodifikasi sampai batas tertentu
dengan fokusutama adalah perubahan perilaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar